Tuesday, March 29, 2011

Sumber Mata Air Panas Mengeruda yang Mempesona


Nusa Tenggara Timur - Sebagai salah satu objek wisata andalan kabupaten Ngada, air panas Mengeruda memang layak menyandang gelar sebagai objek wisata yg patut dikunjungi jika sedang plesiran ke Flores. Di samping pemandangan alamnya yg bagus, tempat ini juga menawarkan tempat pemandian air panas dengan sumber mata air langsung dari lereng gunung.

Dengan debet air yg cukup tinggi, pemandian air panas ini memiliki ciri khas tersendiri yg tidak dimiliki oleh pemandian air panas alami di tempat lain. Sumber mata air berasal dari sebuah kolam dan mengalir ke sungai utama melalui bebatuan yg agak tinggi, sehingga tampak seperti air terjun. Cika sempat berendam di bawah kucuran air yg mengalir dengan cukup deras,airnya hangat dan rasanya seperti dipijat...seketika rasa lelah setelah menempuh perjalanan jauh sirna.

Oya,untuk mencapai tempat ini dari kota Bajawa dapat ditempuh selama kurang lebih 1 jam. Untuk dapat masuk ke area pemandian air panas, Cika cukup membayar tiket masuk hanya Rp 1.000,-/orang dan parkir mobil Rp 1.000,-/mobil. Sangat murah bukan..?!

Diambil dari : travel.detik.com

Sarawandori: Danau dan Laut Jadi Satu


PAPUA - Bayangkan sebuah telaga besar berair tenang, jernih dan berwarna hijau kebiruan. Itulah bayangan saya akan Danau Sarawandori. Lebih tepatnya, itulah yang diinformasikan Bapak Yulius Makabori, Kepala Pemberitaan Radio Republik Indonesia (RRI) Kota Serui, Kabupaten Yapen seusai mewancarai kami, Petualang ACI, sore tanggal 18 Oktober 2010 lalu. Menurut pria yang tahu benar seluk-beluk wisata d Kabupaten Yapen ini, Danau Sarawandori punya kejutan untuk mereka yang mengunjungi pertama kali. Bapak Bonen Waimuri, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Kabupaten Yapen yang menemani obrolan sore kami pun mengamini.

Kedua tokoh senior kabupaten kepulauan ini hanya tersenyum-senyum saja ketika menceritakan danau yang juga direkomendasikan Lonely Planet itu. Esoknya, kami berkendara ke danau ini dengan bersemangat. Setelah sekitar satu jam ke arah barat Kota Serui, pendamping kami, Kak Boi, menawarkan untuk turun ke salah satu sisi danau.

Benar saja. Danau ini berwarna hijau kebiruan. Airnya jernih. Di sisi ini batu-batu kapur memenuhi tepi danau. Air kebiruan menandakan kedalaman air. Banyak ikan kecil berwarna kebiruan. Sebentar. Ikan-ikan ini setahu saya ikan laut. Jangan-jangan...

Kami kembali berkendara. Kak Boi bilang ada satu lokasi untuk menikmati luasnya Danau Sarawandori. Dari tempat bernama Borobudur ini, kami bisa melihat seluruh sisi danau. Bentuk danau terlihat tidak beraturan. Seluruh sisinya menjorok ke dalam membentuk teluk-teluk kecil. Di bagian tengah, air danau terlihat berwarna biru-hijau gelap. Nama Borobudur sendiri didapat dari sebongkah batu karang di tepi jalan yang berundak-undak mengecil di atas. Agak jauh dari bentuk Candi Borobudur. Tapi tak apa lah.

Dari sisi jalan di bawah batu 'Borobudur' itu, pemandangan ke sisi kanan danau masih tehalang rimbunnya pepohonan. Saya nekat memanjat batu Borobudur. Tidak licin. Tapi batu kapur yang ringkih sesekali terlepas ketika terinjak kaki. Setiba di tengah puncak, saya membalikkan badan. Menatap ke arah bawah, ke Danau Sarawandori. Pemandangan dari atas sini jauh lebih luas. Di ujung sebelah kanan, laut lepas terlihat kebiruan.

Ternyata danau ini berbatasan langsung dengan tepi laut. Tunggu, ternyata danau ini tersambung dengan laut. Inikah yang dimaksud kejutan oleh Pak Yulius? Segera saya minta Kak Boi untuk membawa kami ke titik dimana gerbang danau menuju laut dapat terlihat.

Seketika jantung ini berdebar-debar. Layaknya menunggu seorang kekasih, saya tak sabar menanti saat melihat 'sambungan' danau dan laut ini. Di sebuah bukit, di halaman sebuah gereja saya bisa melihat dengan jelas, danau di sisi kiri dan teluk di sisi kanan. Tapi, gerbang yang kami cari persis berada di bawah kami. Tertutup oleh gundukan bukit dan rimbun pepohonan.

Kami kembali memacu kendaran. Kali ini langsung turun ke tepi pantai yang berbatasan langsung dengan laut. Pemandangan lebih indah terpampang di depan mata. Air biru jernih berpagar bukit kapur. Sayangnya, gerbang yang kami maksud masih juga tak terlihat.

"Mungkin harus naik sampan atau perahu," pikir saya. Sayangnya, kami tak punya waktu banyak untuk menyewa sampan. Ah, sayang sekali. Padahal, gerbang keluar itu pastilah sangat indah diabadikan dari arah laut maupun dari dalam danau.

Walau tak sempat melihat gerbang danau-laut, keindahan Danau Sarawandori tetap memikat hati. Masyarakat sekitar danau nampaknya belum terbiasa melihat turis. Kami sempat disambut dengan hangat. Tak sopan menolak sambutan itu. Tapi apa daya, jadwal yang padat memaksa kami untuk segera beranjak ke lokasi wisata berikutnya.

Sebelum benar-benar meninggalkan danau terluas di Pulau Yapen ini, sekelompok pemuda lokal menarik perhatian saya. Mereka memarkir motor di sisi jalan. "Bagaimana melihat gerbang danau?" tanya saya.

Mereka langsung mengantar saya menerobos rimbun pohon. Menuruni tebing yang terjal. Melompati akar dan sulur pohon yang bergelantungan. Hingga akhirnya berhenti. "Dari sini?" tanya salah satu dari mereka.

Saya memicingkan mata. Wow. Akhirnya gerbang itu terlihat juga. Walau bola mata harus bekerja ekstra keras, tapi terlihat jelas gerbang yang menghubungkan Danau Sarawandori dengan lautan lepas.

Inilah yang dimaksud kejutan oleh Bapak Yulius Mukabori. Kamera poket saya mungkin tak berhasil menangkapnya. Tapi mata ini tak gagal menyimpannya dalam hati.

Diambil dari : travel.detik.com

Jalur Surga di Kurima




PAPUA - Sejak melihatnya dari udara, saya langsung jatuh cinta. Dari jendela pesawat twin otter yang terbang dari Jayapura, saya melihat Sungai Baliem melintas berkelok-kelok membelah Wamena. Sangat cantik. Maka saat Bang Herman, guide kami selama di Wamena, mengajak trekking menyusur Sungai Baliem, saya langsung bersemangat.

Pada hari Minggu (17/10) pagi, kami sudah berada di Desa Sogokmo, 30 kilometer dari pusat Wamena. Saya menyetel titik koordinat GPS di Nexian Journey, menandai tempat dimulainya jalur trekking ini. Peserta trekking kali ini tiga orang; saya, Mas Sukma, dan guide kami tercinta, Bang Herman. Umur kami terpaut jauh satu sama lain, saya yang paling muda sekaligus paling tambun, sedangkan Bang Herman, pria asli batak ini adalah yang tertua tapi paling langsing.

Saya memulai perjalanan ini dengan semangat, berbagai pemandangan indah memanjakan mata. Berkali-kali saya harus berhenti untuk mengambil gambar. Sejak awal saya memang menggunakan mode slow down, berbeda dengan Mas Sukma yang sudah berjalan paling depan, balapan dengan penduduk lokal, jauh meninggalkan saya dengan Bang Herman. "Kelihatan sekali ya kalau Sukma suka jalan,"kata Bang Herman. Saya mengiyakan sambil terus menyetel rana kamera.

Sungai Baliem yang kami temui di Distrik Kurima ini memang berbeda dari yang kami temui di Desa Wesaput. Aliran Sungai Baliem berubah menjadi liar dan terpental-pental akibat dihalangi batu-batu besar. Dulu memang jalur ini pernah dipakai sebagai rafting spot, tapi tampaknya ban yak turis yang kesusahan dengan medan seberat ini. "Ini mah udah Grade 3, cocoknya buat adventure, bukan turis," kata Mas Sukma.

Sambil terus melanjutkan perjalanan, saya melihat banyak ladang yang dibatasi dengan tembok batu tanpa perekat. Mengingatkan saya pada gambaran tentang jalur trekking menuju Machu Picchu yang pernah saya lihat di acara televisi Travel and Living. "Ini mereka buat agar babi tidak masuk dan merusak ladang mereka," kata Bang Herman.

Tapi memang keberadaan babi tidak dapat dipungkiri selama kami trekking. Banyak ranjau yang harus kami hindari selama perjalanan. Hup hup. Tapi memang tidak semudah itu untuk menghindar, ranjau babi yang berwarna hitam pekat itu kadang tidak terlihat, tersamar diantara lumpur dan ladang yang terbakar. Voila! saya pun terperangkap.

Tapi rasanya tidak sah memang jika Anda berpetualang di Wamena tanpa menginjak tahi babi yang aduhai itu. Maka silahkan dicoba, semoga mempermanis kunjungan Anda di Wamena.

Setelah satu jam berjalan, saya disuguhi pemandangan sebuah sungai kecil yang dangkal dengan sebuah pohon mati melintang di atasnya. Tiga anak kecil bermain-main air dengan riang, awalnya saya mengira anak-anak kecil itu adalah peri air yang sedang mandi. Saya panggil saja mereka untuk difoto, mereka senang dan memperlihatkan deretan gigi putih yang kontras dengan warna kulit mereka, terlihat sangat manis. "Ayo dik berdiri di atas pohon, yang kamu di situ saja, yak sip!" kata saya sedikit mengeksploitasi mereka.

Ternyata mereka begitu ketagihan, mungkin jika sudah besar anak-anak kecil wanita ini akan menjadi supermodel sekelas Naomi Campbell. Anak-anak Desa Sogokmo ini lihai berpose di depan kamera, saya sih senang saja, tapi ibu mereka yang menjadi gemas. Tidak tahan melihat anaknya dieksploitasi oleh seorang Petualang ACI, akhirnya sang ibu memanggil tiga anak kecil ini, mengingatkan untuk segera berangkat ke gereja.

Anak-anak kecil ini berhamburan, merangsek menuju ibu mereka. Memakai baju terbaik yang mereka mliki dan merengek meminta sang ibu untuk merapikan rambut mereka yang keriting basah. "Ibu punya gereja letaknya dimana?" tanya saya. "Oh dekat saja, di Hulesi," jawabnya sambil tersenyum dan terus menyisir tiga rambut anaknya.

Ternyata Hulesi itu jauh sekali kakak

Nafas saya tersenggal-senggal menempuh jalur trekking hingga Hulesi. Barang bawaan yang memenuhi daypack Consina membuat perjalanan ini terasa berat. Mas Sukma dan Bang Herman sudah tidak tampak lagi, dua jagoan trekking itu sepertinya punya kaki-kaki ringan yang tidak menyentuh tanah. Berlompatan dengan mudah di bebatuan sungai dan melintasi pagar-pagar penduduk dengan santai.

Tapi perjalanan berat ke Hulesi terbayar dengan pemandangannya yang sangat indah. Coba bayangkan sebuah gereja putih kecil di tepi tebing Sungai Baliem, beberapa pohon pinus timbuh di sekitar, menaungi lapangan rumput yang terbentang. Di belakangnya tampak barisan pegunungan yang berlekuk-lekuk.

Pada saat kami tiba, ternyata kebaktian baru saja selesai, jadilah kami berpapasan dengan jamaah gereja Hulesi. Kami menyalami mereka satu-persatu, sedang mereka menyambut kami ramah. Ini adalah sebuah hari minggu yang indah.

Setelah berbasa-basi akhirnya kami melanjutkan perjalanan, melewati tengah hari kami berhenti untuk membuka bekal makanan. Sekotak nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi adalah menus siang itu. Kami mengisi perut di bawah serumpun pohon di tepi Sungai Baliem. Tempat kami mengaso ini sudah masuk Desa Seima, titik terjauh jalur trekking kali ini. Setelah selesai makan siang dan menyetel koordinat GPS, kami pun kembali berjalan.

Memasuki Desa Polimo, Bang Herman membeli seikat pisang dari penduduk yang berjualan di tepi jalan desa. Tak terasa hari sudah sore, sinar matahari yang lembut beradu dengan punggung gunung, memperlihatkan lukisan semi-surreal yang eksotik. Kami duduk-duduk saja sambil makan pisang, perjalanan tinggal sedikit lagi, jadi kami nikmati saja sore itu.

Tiba-tiba Pak Yehuda, salah satu penduduk Desa Polimo, datang sambil menenteng sebuah gitar kopong. Setelah kami rayu sedikit, ia bersedia untuk menyanyikan dua buah lagu daerah. Sore itu kami memang terbuai dengan permainan gitar Pak Yehuda yang juga bernyanyi dengan suara lirih. "Saya sering tampil di gereja," kata Pak Yehuda.

Setelah setandan pisang lenyap sudah kami telan, perjalanan pun dilanjutkan. Tidak perlu waktu lama bagi kami untuk menemukan Kali Yetni, sebuah longsoran material gunung purba yang sekarang menjadi sebuah padang berkerakal yang dialiri beberapa sungai kecil. Ini adalah poin terakhir trekking menyusur Baliem. Pak Sianipar, sopir travel kami sudah menunggu sejak pagi, tidak terasa kami sudah trekking selama tujuh jam hari ini.

Diambil dari : travel.detik.com

Sawat, Kesenian Rebana Kota Fakfak



PAPUA BARAT - Seperti halnya di daerah lain, budaya mengantarkan kepergian Jemaah Haji tiap tahun di kalangan masyarakat telah menjadi tradisi. Anggota keluarga yang hendak menjalankan ibadah Haji pergi dengan diantar oleh seluruh keluarga, sanak saudara dan kerabat dari rumah menuju ke bandara. Kadatangan masyarakat dari seluruh pelosok kota Fakfak semakin meriah karena sejak di perjalanan hingga tiba di bandara diiringi oleh Sawat, kesenian menabuh rebana oleh puluhan pemain dan penari. Tidak hanya itu, sesampainya di bandara, beberapa rombongan berbeda yang berasal dari seluruh distrik dan kampung, yang membawa grup kesenian sawat masing-masing, seakan saling bersahut-sahutan. Membuat suasana Bandara Torea menjadi semakin meriah.

Satu hal yang unik, Bandara Torea memperbolehkan pengantar memasuki ruang tunggu penumpang dan bahkan hingga pelataran dalam dan landas pacu. seakan menjadi panggung besar bagi seluruh rombongan pemain rebana dan penari, landas pacu bandara dipenuhi oleh masyarakat. Mereka semua menari dan menyanyi.

Kesenian Sawat sendiri terdiri dari beberapa orang pemain rebana berukuran besar dan kecil, seorang pemain suling dan puluhan penari. Lagu-lagu yang dimainkan untuk mengiringi penari adalah lagu-lagu islami dan Sholawat Nabi. Yang dimaksudkan untuk memberi dorongan moril bagi Jemaah yang ingin berangkat ke Tanah Suci. Irama dan tarian yang enerjik yang sesekali diselingi teriakan-teriakan menjadikan suasana bandara pagi ini begitu meriah.

Kamipun ikut larut dalam suasana.

Diambil dari : travel.detik.com

Menapaki Senja Di Wisata Alam Bukit Tangkiling




KALIMANTAN TENGAH - Sore yang cerah di tanggal 19 Oktober 2010, mewarnai petualangan hari terakhir di Kalimantan Tengah. Cuaca yang ideal untuk kami dapat menelusuri dataran tinggi Palangkaraya tepatnya di wisata alam Bukit Tangkiling. "Waah..tracking cocok ne kayaknya Ga, sekalian ngurusin badan", usul Pak Charles perwakilan Sinarmas yang saat itu juga bersama kami sambil menyindir saya yang justru bertambah gemuk selama petualangan ini.

Benar saja, sesampainya kami di lokasi Wisata Alam Bukit Tangkiling yang hari itu terlihat sepi lantaran di luar hari weekend dan waktu yang sudah sangat sore, kami langsung bertemu dengan seorang petugas yang menawari kami untuk tracking di lokasi yang di kelilingi kurang lebih 9 bukit yang biasa dijadikan lokasi tracking. Oleh karena waktu yang sudah semakin sore dan juga jarak yang cukup jauh untuk sampai di puncak Bukit Tangkiling, akhirnya kami pun memutuskan untuk menaklukkan Bukit Buhis saja yang terbilang tidak memiliki jarak yang jauh.

"Sekitar 1 jam berjalan kaki untuk sampai di puncak Bukit Buhis", ujar petugas yang mendampingi kami. Kami pun mulai berjalan dengan melewati dua kolam besar berisikan kurang lebih 10 ekor Buaya, mulai dari yang memiliki panjang 2 meter sampai yang masih kecil seukuran pergelangan tangan. Selanjutnya kami melewati tanjakan yang cukup terjal seperti yang kami perkirakan. Tanah yang basah setelah diguyur hujan juga membuat kami sedikit berhati-hati.

Setelah berjalan kurang lebih setengah jam kami pun menemukan shelter diatas bukit, tetapi yang unik adalah kisah tentang Si Ing nama yang tercantum di shelter tersebut sebagai donatur pendirinya. Menurut cerita dari petugas yang mendampingi kami Si Ing adalah lelaki peranakan tionghoa yang ternyata mendadak menjadi millionare lantaran mendapat keberuntungan berupa bisikan ghaib tentang nomor hoki yang akan keluar dalam judi togel yang dulu marak di Indonesia setelah dia bermalam diatas batu besar di bukit tersebut tepat disisi shelter itu. Setelah menang akhirnya dia memberikan sejumlah uangnya kepada petugas pengawas Wisata Alam Bukit Tangkiling untuk di bangunkan shelter sebagai posko peristirahatan disana.

Setelah melewati jalan setapak yang semakin terjal akhirnya kami sampai dipuncak tepat menjelang senja, selain kami dapat menyaksikan senja dari atas puncak bukit, pemandangan kota tampak atas juga menjadi daya tarik Bukit Buhis. Selain itu di puncak bukit tersebut juga kami temui 'Batu Dempet', tiga buah batu berukuran besar yang saling berdempetan sehingga membentuk celah seperti gua yang biasa di jadikan tempat berteduh bila hujan datang.

Sebenarnya Wisata Alam Bukit Tangkiling dapat menjadi objek wisata yang sangat menyenangkan apabila lokasi tersebut bersih dari sampah bungkusan sisa makanan pengunjung seperti yang kami temui sepanjang jalur naik dan turun dari Bukit Buhis. Kalau tidak pasti sangat menyenangkan berkunjung ke objek wisata alam yang juga memiliki koleksi hewan langka seperti Burung Kasuari, Rubah dan lain sebagainya.

Diambil dari : travel.detik.com

Rancangan Besar

Rut 4:14-15


Sebab itu perempuan-perempuan berkata kepada Naomi: "Terpujilah TUHAN, yang telah rela menolong engkau pada hari ini dengan seorang penebus. Termasyhurlah kiranya nama anak itu di Israel.Dan dialah yang akan menyegarkan jiwamu dan memelihara engkau pada waktu rambutmu telah putih; sebab menantumu yang mengasihi engkau telah melahirkannya, perempuan yang lebih berharga bagimu dari tujuh anak laki-laki."


Bacaan Alkitab Setahun:Mazmur 88; Roma 16; Ulangan 23-24

''Hidup itu penuh dengan kemalangan,'' demikian kata-kata pahit yang keluar dari mulut seorang janda bernama Naomi (Rut 1:20,21). Bayangkan kondisi seorang wanita yang baru saja ditinggal oleh suami dan bahkan anak-anak laki-lakinya. Sang janda yang malang ini hidup di tengah kelaparan di perantauan bersama kedua menantunya. Ia menolak dipanggil Naomi--yang artinya kesenangan, dan meminta dipanggil Mara, yang berarti pahit. Dan pada masa tuanya, ia hanya punya keinginan sederhana, yaitu menikmati masa tua yang tenang dengan menimang cucu. Namun, semua itu menjadi tidak mungkin sebab kedua anak lelakinya mati tanpa meninggalkan keturunan!

Bukankah kita juga demikian? Hidup kita dipenuhi dengan mimpi dan harapan. Banyak hal kita cita-citakan. Namun, ketika sesuatu terjadi dalam hidup ini dan mengandaskan impian kita, maka kita merasa hidup dan semangat kita pun hancur bersamanya. Dalam kondisi demikian, kita pun semakin sulit memahami bahwa Tuhan pasti memiliki rancangan yang baik. Bahwa Dia memiliki “mimpi” bagi hidup kita dan pasti menjadikan segala sesuatu baik pada waktunya.

Kita tahu, cerita Naomi ini adalah kisah yang berakhir dengan kebahagiaan. Pada akhirnya Alkitab menulis bahwa Naomi memangku cucunya dengan gembira pada hari tuanya (4:16). Dan bukan hanya itu, mimpi Allah bagi dirinya juga terwujud, karena pada akhirnya Naomi mengenal bahwa Allah memelihara hidupnya (ayat 14). Hari ini, jika kita menilik lagi mimpi kita yang kandas, lihatlah rancangan besar-Nya; Dia selalu ada dan memelihara dengan sempurna. (Henry Sujaya Lie/Renunganharian.net)

Mimpi besar kita mungkin bisa saja kandas, namun kita harus yakin bahwa penyertaan Tuhan tidak pernah lepas.

Diambil dari : jawaban.com

Sungguh Amat Baik

Kejadian 1:31


Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.


Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 87; Roma 15; Ulangan 21-22

Pada hari-hari penciptaan, selama enam hari Allah menciptakan bumi dan segala isinya serta semua fungsi pendukung kehidupan yang ada. Selama enam hari itu, ada sesuatu yang menarik perhatian saya, setiap kali Tuhan selesai dengan apa yang ia kerjakan dihari itu, Allah melihat bahwa semuanya itu baik. Bahkan di hari ke enam, Allah melihat segala yang dijadikannya sungguh amat baik.

Apa yang Tuhan lakukan membuat saya melakukan refleksi bagaimana saya bekerja. Jarang sekali saya di akhir hari berdiam diri sebentar dan melihat apa yang telah saya kerjakan, apa lagi puas dan bersyukur atas hasil kerja saya. Seharusnya kita meneladani apa yang Tuhan lakukan, setiap kali mengakhiri pekerjaan, kita duduk diam sebentar dan melihat hasil kerja kita. Melihat apa yang baik yang telah kita lakukan, dan bersyukur atas kesempatan yang Tuhan berikan untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Dalam Efesus 2:10 dituliskan, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Jadi, apapun yang sedang kita kerjakan saat ini bukanlah suatu kebetulan dan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup kita saja. Pekerjaan kita adalah bagian dari rencana Allah. Apapun pekerjaan kita, itu adalah sebuah ibadah, sebuah pelayanan untuk memuliakan Allah dengan hidup kita. Jadi mari hari ini, kita melihat pekerjaan kita dengan cara pandang yang baru, dan melakukannya sebaik mungkin sehingga di akhir hari kita dapat berkata pada apa yang kita kerjakan, “Sungguh amat baik.” (Puji Astuti/Jawaban.com)

Kita ini buatan Allah diciptakan untuk melakukan pekerjaan baik yang telah Allah persiapkan sebelumnya.

Diambil dari : jawaban.com