Tuesday, March 29, 2011

Jalur Surga di Kurima




PAPUA - Sejak melihatnya dari udara, saya langsung jatuh cinta. Dari jendela pesawat twin otter yang terbang dari Jayapura, saya melihat Sungai Baliem melintas berkelok-kelok membelah Wamena. Sangat cantik. Maka saat Bang Herman, guide kami selama di Wamena, mengajak trekking menyusur Sungai Baliem, saya langsung bersemangat.

Pada hari Minggu (17/10) pagi, kami sudah berada di Desa Sogokmo, 30 kilometer dari pusat Wamena. Saya menyetel titik koordinat GPS di Nexian Journey, menandai tempat dimulainya jalur trekking ini. Peserta trekking kali ini tiga orang; saya, Mas Sukma, dan guide kami tercinta, Bang Herman. Umur kami terpaut jauh satu sama lain, saya yang paling muda sekaligus paling tambun, sedangkan Bang Herman, pria asli batak ini adalah yang tertua tapi paling langsing.

Saya memulai perjalanan ini dengan semangat, berbagai pemandangan indah memanjakan mata. Berkali-kali saya harus berhenti untuk mengambil gambar. Sejak awal saya memang menggunakan mode slow down, berbeda dengan Mas Sukma yang sudah berjalan paling depan, balapan dengan penduduk lokal, jauh meninggalkan saya dengan Bang Herman. "Kelihatan sekali ya kalau Sukma suka jalan,"kata Bang Herman. Saya mengiyakan sambil terus menyetel rana kamera.

Sungai Baliem yang kami temui di Distrik Kurima ini memang berbeda dari yang kami temui di Desa Wesaput. Aliran Sungai Baliem berubah menjadi liar dan terpental-pental akibat dihalangi batu-batu besar. Dulu memang jalur ini pernah dipakai sebagai rafting spot, tapi tampaknya ban yak turis yang kesusahan dengan medan seberat ini. "Ini mah udah Grade 3, cocoknya buat adventure, bukan turis," kata Mas Sukma.

Sambil terus melanjutkan perjalanan, saya melihat banyak ladang yang dibatasi dengan tembok batu tanpa perekat. Mengingatkan saya pada gambaran tentang jalur trekking menuju Machu Picchu yang pernah saya lihat di acara televisi Travel and Living. "Ini mereka buat agar babi tidak masuk dan merusak ladang mereka," kata Bang Herman.

Tapi memang keberadaan babi tidak dapat dipungkiri selama kami trekking. Banyak ranjau yang harus kami hindari selama perjalanan. Hup hup. Tapi memang tidak semudah itu untuk menghindar, ranjau babi yang berwarna hitam pekat itu kadang tidak terlihat, tersamar diantara lumpur dan ladang yang terbakar. Voila! saya pun terperangkap.

Tapi rasanya tidak sah memang jika Anda berpetualang di Wamena tanpa menginjak tahi babi yang aduhai itu. Maka silahkan dicoba, semoga mempermanis kunjungan Anda di Wamena.

Setelah satu jam berjalan, saya disuguhi pemandangan sebuah sungai kecil yang dangkal dengan sebuah pohon mati melintang di atasnya. Tiga anak kecil bermain-main air dengan riang, awalnya saya mengira anak-anak kecil itu adalah peri air yang sedang mandi. Saya panggil saja mereka untuk difoto, mereka senang dan memperlihatkan deretan gigi putih yang kontras dengan warna kulit mereka, terlihat sangat manis. "Ayo dik berdiri di atas pohon, yang kamu di situ saja, yak sip!" kata saya sedikit mengeksploitasi mereka.

Ternyata mereka begitu ketagihan, mungkin jika sudah besar anak-anak kecil wanita ini akan menjadi supermodel sekelas Naomi Campbell. Anak-anak Desa Sogokmo ini lihai berpose di depan kamera, saya sih senang saja, tapi ibu mereka yang menjadi gemas. Tidak tahan melihat anaknya dieksploitasi oleh seorang Petualang ACI, akhirnya sang ibu memanggil tiga anak kecil ini, mengingatkan untuk segera berangkat ke gereja.

Anak-anak kecil ini berhamburan, merangsek menuju ibu mereka. Memakai baju terbaik yang mereka mliki dan merengek meminta sang ibu untuk merapikan rambut mereka yang keriting basah. "Ibu punya gereja letaknya dimana?" tanya saya. "Oh dekat saja, di Hulesi," jawabnya sambil tersenyum dan terus menyisir tiga rambut anaknya.

Ternyata Hulesi itu jauh sekali kakak

Nafas saya tersenggal-senggal menempuh jalur trekking hingga Hulesi. Barang bawaan yang memenuhi daypack Consina membuat perjalanan ini terasa berat. Mas Sukma dan Bang Herman sudah tidak tampak lagi, dua jagoan trekking itu sepertinya punya kaki-kaki ringan yang tidak menyentuh tanah. Berlompatan dengan mudah di bebatuan sungai dan melintasi pagar-pagar penduduk dengan santai.

Tapi perjalanan berat ke Hulesi terbayar dengan pemandangannya yang sangat indah. Coba bayangkan sebuah gereja putih kecil di tepi tebing Sungai Baliem, beberapa pohon pinus timbuh di sekitar, menaungi lapangan rumput yang terbentang. Di belakangnya tampak barisan pegunungan yang berlekuk-lekuk.

Pada saat kami tiba, ternyata kebaktian baru saja selesai, jadilah kami berpapasan dengan jamaah gereja Hulesi. Kami menyalami mereka satu-persatu, sedang mereka menyambut kami ramah. Ini adalah sebuah hari minggu yang indah.

Setelah berbasa-basi akhirnya kami melanjutkan perjalanan, melewati tengah hari kami berhenti untuk membuka bekal makanan. Sekotak nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi adalah menus siang itu. Kami mengisi perut di bawah serumpun pohon di tepi Sungai Baliem. Tempat kami mengaso ini sudah masuk Desa Seima, titik terjauh jalur trekking kali ini. Setelah selesai makan siang dan menyetel koordinat GPS, kami pun kembali berjalan.

Memasuki Desa Polimo, Bang Herman membeli seikat pisang dari penduduk yang berjualan di tepi jalan desa. Tak terasa hari sudah sore, sinar matahari yang lembut beradu dengan punggung gunung, memperlihatkan lukisan semi-surreal yang eksotik. Kami duduk-duduk saja sambil makan pisang, perjalanan tinggal sedikit lagi, jadi kami nikmati saja sore itu.

Tiba-tiba Pak Yehuda, salah satu penduduk Desa Polimo, datang sambil menenteng sebuah gitar kopong. Setelah kami rayu sedikit, ia bersedia untuk menyanyikan dua buah lagu daerah. Sore itu kami memang terbuai dengan permainan gitar Pak Yehuda yang juga bernyanyi dengan suara lirih. "Saya sering tampil di gereja," kata Pak Yehuda.

Setelah setandan pisang lenyap sudah kami telan, perjalanan pun dilanjutkan. Tidak perlu waktu lama bagi kami untuk menemukan Kali Yetni, sebuah longsoran material gunung purba yang sekarang menjadi sebuah padang berkerakal yang dialiri beberapa sungai kecil. Ini adalah poin terakhir trekking menyusur Baliem. Pak Sianipar, sopir travel kami sudah menunggu sejak pagi, tidak terasa kami sudah trekking selama tujuh jam hari ini.

Diambil dari : travel.detik.com

No comments:

Post a Comment